RSS

Category Archives: Fatwa Ulama

Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah

Oleh
Prof.Dr. Abdul Malik Al-Sadi Al-Hasani

Pertanyaan

Apakah perbedaan antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah ? apakah keduanya mempunyai makna yang sama ataukah seseorang dapat dikatakan bertauhid rububiyah dangan tanpa bertauhid uluhiyah, karena sebagian orang menganggap bahwa orang-orang musyrik Makkah bertauhidkan rububiyah tetapi tidak bertauhid uluhiyah ?

Jawaban Mufti

Ar-Rububiyah yaitu isim yang dinisbatkan kepada kata Ar-Rabbu (Tuhan), dan Ar-Rabbu sendiri bermakna pemelihara, pencipta dan yang mengadakan sesuatu.

Sedangkan kata uluhiyah berasal dari isim yang dinisbatkan kepada kata Al-ilaah (sembahan), yang terambil dari kata aliha yang bermakna bingung atau kacau pikirannya. Kata ini disebutkan untuk AL-kholiq (pencipta) karena akal mengalami kebingungan dalam mengetahui dzatnya dan kata ini pula secara mutlak digunakan kepada segala sesuatu yang disembah.

Tetapi dalam istilah aqidah, kata itu (Tuhan) bermakna yang disembah dengan haq. Maka keluar dari kata haq (yang benar) yaitu sesuatu yang disembah yang berupa makhluk karena ia disembah sedangkan ia tidak berhak untuk disembah.

Kaum musyrikin menyekutukan Alloh dengan selainnya seperti dengan berhala dan lainnya, disertai keyakinan bahwa Alloh adalah Tuhan yang haq ( benar ) dan juga keyakinan bahwa Ia adalah Kholiq ( pencipta ) dan pemelihara, karena Alloh berfirman : (Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah ?) ( Az-zuruf : 87 ).

Tetapi mereka menyembah berhala juga karena mereka memandang bahwa beribadah kepada berhala merupakan ibadah kepada Tuhan, karena itu mereka mengatakan (“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. ) ( Az –Zumar : 3 ), Maka ibadahnya mereka kepada berhala itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan yang disembah.

Disana dapat diketahui juga bahwa ada orang yang menyembah makhluk saja dan tidak mengenal Tuhan Alloh bahkan mengingkari Al- Kholiq ( pencipta ), dia meyakini bahwa makhluk yang disembah itu adalah yang menciptakannya dan mewujudkannya, oleh karena itu dia menyembahnya.

Alloh telah memberitahukan kesalahan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika mereka menjadikan pendeta2 dan rahib2 sebagai Tuhan yang mereka sembah selain Alloh, karena mereka mensyareatkan yang berlawanan dengan apa yang Alloh turunkan, kemudian mereka mengikutinya. Sikap Ittiba` itu adalah suatu ketaatan dan ibadah.

Alloh Ta`ala berfirman : ( Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah ) ( At-Taubah : 31 ). Disana Alloh “menggunakan” lafadz Ar-robbu ( Tuhan ) yang bermakna yang disembah, maka merekalah yang disebut orang musyrik dalam rububiyah dan juga uluhiyah.

Dari sana dapat dipahami bahwa barangsiapa bertauhid rububiyah maka ia bertauhid uluhiyah. Barangsiapa melakukan syirik dengan salah satunya maka ia syirik terhadap bagian yang lainnya.

Disamping orang-orang musyrik menyembah berhala mereka juga menganggap bahwa berhala itu dapat mendatangkan mudorot dan manfaat, memberi rizki dan pemberi serta pelindung. Mereka mengenal Alloh sebagai Tuhan tetapi mereka menganggap selain Alloh ( berhala-berhala itu ) sebagai Tuhan, oleh karena itu mereka menyembahnya.

Selanjutnya, maka saya tidak menganggap adanya alasan untuk menjadikan tauhid rububiyah secara khusus dan syirik terhadap uluhiyah, karena musyrik kepada salah satunya maka akan jatuh kepada kemusyrikan lainnya, jika tidak maka seseorang tidak akan menyekutukan Tuhannya dengan sesuatupun. Oleh karena itu Alloh ta`ala berfirman : (Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Tuhannya dengan sesuatupun dalam beribadat kepada Tuhannya” ) ( Al-Kahf : 110). Disana disebutkan menyekutukan rububiyah dalam ibadah bukan dalam hal menyekutukan uluhiyah.

 
1 Comment

Posted by on 2012/01/24 in Fatwa Ulama

 

Tags: , , , , , , ,

Hukum bersalaman setelah sholat

Fatwa Lembaga Fatwa Mesir 

المصافة عقب الصلاة مشروعة وهي دائرة بين الاباحة والاستحباب لأنها داخلة في عموم استحباب التصافح بين المسلمين, وهو ما يكون سببا لرضا الله تعالى عنهم , وزوال ما في صدورهم من ضيق وغل , وتساقط ذنوبهم من بين أكفهم مع التصافح, ففي الحديث : ( اذا التقى المسلمان قتصافحا وحمدا الله واستغفراه غفر الله لهما ) رواه ابو داود وغيره عن البراء بن عازب رضي الله تعالى عنه.

واختار الامام النووي ( ت : 676 هـ ) في المجموع ان مصافحة من كان معه فبل الصلاة مباحة, ومصافحة من لم يكون معه قبل الصلاة سنة, وقال في الأذكار : واعلم ان هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر فلا أصل له في الشرع علي هذا الوجه , ولكن لابأس به, فان أصل المصافحة سنة, وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال وفرطوا فيها في كثير من الأحوال او أكثرها لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها ) اهـ ثم نقل عن الامام العز بن عبد السلام ان المصافحة عقيب الصبح والعصر من البدع المباحة

Berjabatan tangan setelah sholat adalah disyareatkan, hukumnya berkisar antara mubah dan mustahab( dianjurkan). Hal itu karena ia termasuk dalam keumuman anjuran untuk bersalaman antar kaum muslimin. Bersalaman menjadikan sebab turunnya ridlo Alloh SWT diantara mereka ( yang melakukannya), penyebab hilangnya kedengkian dan kebencian serta penyebab gugurnya dosa2 mereka. Hal itu sesuai dengan sabda Rosululloh : ( Jika dua orang muslim bersalaman lalu bertahmid dan beristighfar kepada Alloh Maka Alloh akan mengampuni keduanya). HR. Abu Daud dan lainnya dari BArra` bin `Azib ra.)

Dalam kitab majmu`, Imam Nawawi berpendapat bahwa bersalaman dengan orang yang ada bersamanya sebelum sholat adalah mubah, dan bersalaman dengan orang yang tidak ada bersamanya sebelum sholat adalah sunah.

Sedangkan dalam kitab Al-Adzkar , beliau berkata : ” Ketahuilah bahwa bersalaman adalah dianjurkan pada setiap perjumpaan. Adapun kebiasaan orang2 yang bersalaman setelah sholat shubuh dan ashar, dilihat dari bagian ini, ia tidak ada dasarnya dalam syariat, tapi hal itu dilakukan tidak apa2, karena hukum asal dari bersalaman adalah sunah. Sedangkan sikap mereka yang senantiasa melakukannya dalam waktu2 tertentu namun tidak melakukannya dalam banyak kesempatan lainnya,atau lebih dari itu, maka hal itu tidak mengeluarkan hukum sebagian bersalaman itu dari bersalaman yang dibolehkan syareat.

Dinukil dari Imam Izzu bin Abdus salam bahwa bersalaman setelah sholat subuh dan asar merupakan bid`ah mubah.

وقال السفاريني في غداء الألباب شرح منظومة الآداب : ( ظاهر كلام العز بن عبد السلام من الشافعية انها بدعة مباحة , وظاهر كلام الآمام النووي انها سنة , قال الحافظ ابن حجر في شرح البخاري : قال النووي : وأصل المصافحة سنة , وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال لايخرج ذلك عن أصل السنة )

Berkata As-Safarini dalam kitab Ghidaul Al-Adab syarh Mandzumat Al_adab : secara eksplisit pernyataan Izzu bin Abdus salam salah satu ulama Syafi`iyah adalah bersalaman (setelah sholat) temusak bid`ah mubah, dan dzohir pernyataan Imam Nawawi : bahwa bersalaman adalah sunah,Dalam Syarah Shahih Bukhori , Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : Nawawi berkata : hukum berjabat tangan adalah sunah . Sementara kebiasaan masyarakat yang melakukannya pada kesempatan2 tertentu tidak mengeluarkannya dari hukum asal yaitu sunah.

وفي فتاوي الرملي الشافعي : سئل عما يفعله الناس من المصافحة بعد الصلاة هل هو سنة او لا ؟ فأجاب بان ما يفعله الناس من المصافحة بعد الصلاة لا أصل لها ولكن لا بأس بها اهـ

Dalam kitab Fatawa Ar-Romli yang merupakan salah seorang ulama Syafi`i disebutkan : (beliau ditanya) tentang kebiasaan masyarakat yang melakukan salaman setelah sholat. Apakah hal itu sunah atau tidak ? (beliau menjawab) bahwa berjabat tangan yang dilakukan oleh masyarakat setelah sholat adalah perbuatan yang tidak memiliki dalil tapi tidak apa2 untuk dilakukan.

وأما ما ذهب اليه بعض العلماء من القول بكراهة المصافحة عقب الصلاة فانها نظروا فيه الى ان المواظبة عليها قد تؤدي بالجاهل الى اعتقاد انها من تمام الصلاة او سننها المؤثورة عن النبي صلى الله وآله وسلم , فقالوا بالكراهة سدا لذريعة هذا الاعتقاد, ومنهم من استدل بترك النبي صلى الله عليه وسلم لهذا الفعل على عدم مشروعيته, ومع قول هؤلاء بكراهتها فانها نصوا – كما ذكر القاري في مرقة المفاتيح – علي انه اذا مد مسلم يده اليه ليصافحة فلا ينبغي الاعراض عنه بجذب اليد , لما يترتب عليه من أذى بكسر خواطر المسلمين وجرح مشاعرهم, وذلك على سبيل المجابرة ودفع ذلك بجبر الخواطر مقدم على مراعة الأدب بتجنب الشيء المكروه عندهم , اذ من المقرر شرعا ان درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Dan adapun sebagian ulama berpendapat makruhnya bersalaman sesudah sholat karena mereka berpandangan kepada kebiasaan hal itu akan sampai bagi orang yang bodoh kepada keyakinan bahwa bersalaman merupakan kesempurnaan sholat atau kesunahannya yang datang dari Nabi SAW, mereka (para ulama) mengatakan hal ini guna menghindari keyakinan salah tersebut. Selain itu, sebagian dari mereka (ulama) beralasan karena Nabi SAW tidak melakukannya menunjukkan ketiadaaan dianjurkannya bersalaman setelah sholat.

Meskipun demikian, para ulama yang berpendapat tentang kemakruhannya menjelaskan – seperti ucapan Al-Qori dalam kitab Mirqotul Al_Mafatih- bahwa jika seorang muslim mengulurkan tangannya kepadanya untuk bersalaman maka tidak sepantasnya menolak dengan menarik tangannya. Karena perbuatan itu berakibat menyakiti hati muslimin dan melukai perasaan mereka. Hal itu diistilahkan mujabaroh atau saling menjaga perasaan orang lain, masuk dalam hal ini menjaga perasaan , lebih didahulukan dari pada menjaga adab dengan menjauhi sesuatu yang makruh disisi mereka. Karena, sebagaimana ketetapan syareat bahwa mencegah kemudlorotan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan.

 
1 Comment

Posted by on 2011/06/20 in Fatwa Ulama

 

Tags: ,